About

Selasa, 22 Agustus 2017

Cerpen "Keputusan"

Keputusan
Oleh Bulan Fiha Rahmawati

            Hembusan angin sepoi-sepoi di sebuah bukit yang luas. Membuat hati tenang dan sejuk. Hamparan bukit nan luas, membuat indah mata memandang. Di bawah sebuah pohon besar, duduklah seorang gadis. Gadis itu sedang menikmati suasana indah yang telah diciptakan Tuhan. Seorang gadis yang berparas cantik. Gadis dengan rambut pirang sepinggang. Matanya sangat indah dan mempesona. Hidung yang mancung dan senyumnya yang manis menambah kesempurnaan dirinya.
            Seorang gadis yang sangat beruntung. Hidup dalam keluarga kaya. Namun, bukan itulah yang membuat dia seorang gadis yang beruntung. Hal lain yang ia didapatkan adalah kebahagiaan selalu meliputi keluarga itu. Hidup dengan dikenal banyak orang. Bukan dikenal hanya karena kekayaan, namun dikenal sebagai gadis yang baik dan sangat ramah.
            Tanpa ada yang menyadari, ada seorang laki-laki yang tengah mengamatinya. Laki-laki yang pemalu, yang ingin mengenal lebih jauh gadis yang tengah diperhatikannya. Merasa kurang nyaman, gadis itu menolehkan kepala. Hingga akhirnya, seorang gadis yang tengah menikmati suasana indah itu melihat seorang laki-laki yang diam-diam memperhatikannya.
            “Hey, kemarilah.” Ucap gadis itu dengan suara yang lembut. Laki-laki itu mendekat dengan perasaan takut dan malu yang meliputinya. Lama mereka saling berbincang-bincang,  mentari mulai pergi meninggalkan tahtanya. Hingga mereka harus berpisah dan mengakhiri hari itu bersama.
            Hampir setiap hari mereka selalu bersama menikmati indahnya suasana di bukit itu. Perasaan senang yang selalu mereka dapatkan. Namun, sore ini suasana menjadi berubah. Suasana mulai berubah ketika sang gadis mengucapkan kata perpisahan kepada laki-laki tersebut. Hanya perasaan sedih dan kecewa yang ada dalam benak laki-laki itu. Perpisahan mereka diiringi dengan tenggelamnya sang mentari.
            Laki-laki itu selalu terlihat murung dan tidak pernah tersenyum semenjak kepergian gadis itu. Karena gadis itu merupakan sahabat pertama yang sangat dekat dan sangat akrab dengannya. Merasa khawatir dengan kondisi cucu yang sangat disayangi itu. Akhirnya, sang nenek menyerahkan kembali cucu kesayangannya itu kepada orang tuanya yang ada di kota.
            Mentari pagi mulai menampakkan senyum indahnya. Sepasang mata yang indah itu mulai terbuka. Pemilik mata itu mulai menghirup udara segar dan suasana yang sedikit asing baginya.
            Disinilah aku. Mulai mempersiapkan diri memasuki suasana yang baru. Aku bersiap-siap pergi kuliah. Tempat dimana aku akan mengabdikan diri pada tahap selanjutnya untuk mendapatkan jati diriku yang sebenarnya.
            Aku memulai aktivitasku pagi ini. Sarapan bersama keluarga. Hal ini merupakan hal yang manis bagiku. Berada ditengah-tengah keluarga yang bahagia. Sesibuk apapun keluargaku, kami pasti tetap meluangkan waktu agar kami selalu bisa bersama. Walaupun itu bukanlah waktu yang lama, aku tetap bahagia bersama mereka semua.
            Pagi ini aku akan diantar kakakku untuk menuju sekolah baruku. Hal itu kulakukan, tentunya setelah berpamitan kepada kedua orang tuaku. Aku diantar kakak dengan mengendarai motor sport kesayangannya.
            Inilah aku, seorang gadis yang memakai kacamata dan rambut dikuncir dua. Dengan tampil sederhana dan apa adanya, aku mulai memasuki gerbang sekolah. Salah satu sekolah ternama di kota ini.
            Aku berjalan dengan santai, walaupun aku banyak menjadi bahan perhatian. Tak sedikit dari mereka yang menatapku dengan tatapan tidak suka dan ada juga yang mengejekku. Aku tak merasa risih atau apapun. Karena memang inilah aku. Suasana pertama yang aku dapatkan di sekolah ini adalah suasana baru yang tentunya belum pernah kurasakan di sekolah lamaku. Aku tetap sabar dan ingin menjalani ini semua layaknya siswa biasa. Karena ini memang sudah menjadi keputusanku.
            Saat ini aku sedang menuju ruang kelas. Aku berjalan di samping dosen yang akan mengajar di kelas pagi ini. Aku mulai berimajinasi apa yang akan kulakukan nanti di kelas dan masih banyak lagi yang telah kupikirkan.
            Tak terasa aku sampai di depan kelas. Suara riuh yang semula riuh berubah 180 derajat. Sekarang sama sekali tidak ada suara yang aku dengar setelah dosen memasuki ruang kelas. Aku mulai beranggapan bahwa wanita yang mejadi dosen di sampingku ini adalah wanita yang memiliki pribadi tegas dan disiplin. Sampai akhirnya ia mulai berbicara.
            “Hari ini kita kedatangan murid baru.” Semua orang mulai berbisik-bisik. Aku sangat yakin kalau mereka membicarakanku. Suara bising itu mulai hilang kembali saat mereka semua mendapat tatapan dari dosen itu. Entah tatapan apa yang telah diberikannya, tetapi sekarang suara itu sudah lenyap kembali.
            “Perkenalkan dirimu.” Ucap dosen itu dengan nada datar. Akupun hanya membalasnya dengan anggukan kepala.
            “Perkenalkan, namaku Lucy.”
            “Baiklah, silahkan duduk di tempat yang kosong.” Aku mulai mengamati dimana aku akan duduk. Dan akhirnya aku memutuskan untuk duduk di dekat jendela bagian belakang.
            Setelah itu suasana menjadi biasa sampai akhirnya pelajaran pertama hari ini telah usai. Tak terasa ternyata ruang kelas sudah sepi. Akupun memutuskan untuk membenahi peralatanku. Saat aku hendak keluar kelas aku melihat seorang laki-laki yang nampak murung di samping tempat dudukku. Akhirnya aku mencoba memberanikan diriku untuk menyapanya.
            “Hey!” Dia nampaknya tidak mendengar ucapanku. Aku mencoba menepuk pundaknya, aku yakin dia sedang melamun. Ia akhirnya menolehkan kepalanya kearahku. Aku merasa sedikit terkejut namun aku mencoba menyembunyikan rasa keterkejutanku.
            Entah bagaimana, aku sekarang sudah  bersama lelaki itu dan sedang duduk di taman sekolah. Aku mulai membuka pembicaraan.
            “Emm. Nama kamu siapa?” Dia sedikit terkejut, dan aku yakin dia tadi pasti melamun lagi.
            “Eh, iya namaku Gray. Namamu siapa?” Aku yakin bahwa dia tidak menyadari kedatanganku sebagai murid baru di kelas tadi.
            “Namaku Lucy.” Ucapku sambil tersenyum. Tetapi raut mukanya sedikit berubah.
            “Kenapa, apa ada yang salah?”
            “Ti..tidak kok.” Ucapnya dengan nada gugup. “Eh, iya kenapa kamu ada di kelasku?”
            “Kamu lupa ya? Aku kan murid baru disini.”
            “Oh, maaf aku tidak memperhatikan tadi.”
            “Iya, tidak apa-apa.”
            Tak terasa kami sudah berbincang-bincang cukup lama. Dan waktu telah menunjukkan dirinya, waktu dimana kami akan melanjutkan pelajaran di kelas. Kami segera masuk kelas. Dosen belum datang. Banyak orang yang melihatku dengan tatapan tidak suka namun aku mengabaikannya.
            “Hey, bagaimana murid seperti kamu bisa jalan bareng Ray?” Aku tetap mengabaikannya.
            Saat sebelum dosen datang aku menyempatkan diri untuk bertanya kepada Gray.
            “Ray, aku mau tanya. Kenapa mereka bilang seperti itu?”
            “Entahlah, mungkin karena aku tidak pernah bergaul dengan orang lain.”
            “Memangnya kenapa?” Belum sempat menjawab pertanyaanku, seorang dosen datang.
            “Akan kujelaskan lain kali” Ucapnya padaku sedikit berbisik. Akupun tersenyum dan menganggukkan kepala.
            Hari pertamaku di sekolah baru ini telah usai. Akupun membereskan peralatanku dan bergegas untuk pulang. Entah kenapa sepertinya agendaku untuk pulang hari ini akan terhambat. Namun, tanpa sadar aku tersenyum.
            “Hey.. Wah ada murid baru yang pinter cari muka nih!” Ucap salah seorang dari 3 orang yang berjalan mendekatiku. Dan sepertinya mereka ada dalam satu geng. Tapi, aku tetap berjalan seperti biasa dan tidak menghiraukannya.
            Tiba-tiba salah seorang dari mereka mengguyurkan satu botol minuman dan jatuh tepat di atas kepalaku. Aku tetap berjalan. Tapi orang yang sudah berbicara tadi mencoba menahan tanganku. Kucoba untuk menepis tangan itu namun sangat sulit. Aku memejamkan mataku dan mencoba untuk tetap tenang. Tidak lama kemudian genggaman erat di tangan kiriku sudah sirna dan ada tangan lain yang membawaku entah kemana. Aku menurut untuk mengikuti tangan itu karena aku merasa tenang. Dan aku mulai untuk membuka mataku.
            “R..Ray?” Aku kaget. Ternyata yang membawaku adalah Ray. Sekarang kami sudah ada di taman. Tempat dimana kami duduk siang tadi tadi.
            “Tolong, kamu jangan meladeni Meldy dan Carla”
            “Memangnya mereka itu siapa?”
            “Mereka sudah biasa begitu. Selalu mengganggu orang lain.”
            “Oh iya. Yang satunya  tadi siapa?, dia tidak seperti orang jahat.”
            “Itu Titania. Dia baik dan juga pandai. Karena kepandaiannya itu dia dimanfaatkan oleh Meldy dan Carla. Dia tidak berani melawan karena dia merasa takut.”
            “Oh iya. Dan satu lagi ada yang ingin kutanyakan padamu.”
            “Tentu.”
            “Emm.. Jadi apa maksudmu dengan perkataanmu tadi, bahwa kamu tidak pernah bergaul dengan orang lain?” Ucapku dengan hati-hati.
            “Oh, masalah itu. Entahlah aku sendiri kadang-kadang juga merasa bingung. Jadi, dari dulu aku adalah orang yang pemalu. Karena hal itulah aku tidak pernah punya teman. Tapi dulu aku pernah menjumpai seorang gadis, gadis itu sangat cantik. Aku berteman sangat akrab dengannya, mungkin itu adalah teman terbaikku. Tapi aku berubah murung sejak dia mengatakan untuk pergi. Dan sampai sekarang aku belum mempunyai sahabat yang sangat baik seperti gadis itu.”
            “Memangnya seperti apa gadis itu, dan sebegitu pentingnyakah orang itu?”
            “Gadis itu adalah seorang gadis yang baik dan sangat cantik. Dia adalah sahabat pertamaku jadi dia sangat penting bagiku. Dia selalu menasihati dan menegurku jika aku berada dalam jalan yang salah, dia juga selalu menghiburku saat aku sedih.”
            “Lalu kenapa kamu tidak mencoba untuk mencari sahabat baru?”
            “Entahlah. Tapi sampai sekarang tidak ada satu orangpun yang seperti dia.”
            “Dan kenapa kamu mau berteman denganku?”
            “Karena aku rasa kamu punya kemiripan dengan orang itu. Dari cara bicaramu yang lembut itu aku kembali teringat kepada gadis yang dulu pernah kutemui.” Ucapnya dengan menundukkan kepala.
            “Maaf.” Dia mengangkat kepalanya saat aku mengucapkan kata itu, dari sorot matanya terlihat bahwa dia sedang bertanya kenapa.
            “Karena aku sudah membuatmu untuk mengingat kembali kenanganmu.”
            “Tidak apa-apa kok, aku senang bisa berkenalan denganmu. Aku harap kamu mau menjadi sahabatku.”
            “Tentu.” Jawabku dengan tersenyum.
            Setelah pembicaraan yang cukup panjang itu kamipun pulang ke rumah masing-masing.
            Setelah sampai di rumah aku sempat terpikir Titania. Titania, aku merasa kasihan kepadanya. Dan aku berencana untuk membebaskannya dari kekangan Meldy dan Carla. Tapi aku tidak ingin dianggap sebagai pahlawan dan mencampuri urusan orang lain. Namun, disisi lain aku juga tidak ingin membiarkan orang lain menderita. Dan aku telah memutuskan bahwa aku akan membantunya. Ini sudah menjadi pilihanku dan aku akan berusaha unntuk menjalankannya apapun hasilnya nanti.
            Keesokan harinya aku pergi sekolah diantar kakakku lagi. Dan aku menjalani hariku seperti biasa. Tapi hari ini aku akan melakukan hal yang sudah menjadi pilihanku. Membantu Titania untuk keluar dari masalahnya.
            Seperti biasa hari ini adalah hari yang penuh ejekan bagiku. Mulai dari orang yang mengatakanku tidak pantas untuk sekolah disini, mengatakan kalau aku culun, melempariku dengan kertas, dan masih banyak lagi yang dilakukan untuk menjelek-jelekkanku. Aku tetap sabar dan tanpa menghiraukan mereka semua, aku hanya menganggapnya sebagai angin yang berlalu saja. Karena kakakku pernah berkata bahwa jangan pedulikan orang yang berusaha merendahkanmu, karena hal itu semata-mata karena mereka iri padamu.
            Saat ini aku sedang memperhatikan 3 orang yang sedang berjalan di koridor sekolah. Banyak orang yang minggir karena orang itu. Aku merasa kasihan kepada orang yang disakiti oleh mereka, tapi aku juga sangat kasihan kepada Titania yang berjalan dibelakang mereka dan membawakan  tas mereka. Aku memutuskan untuk menemu Titania sepulang sekolah.
            Sepulang sekolah aku menghampiri Titania di tempat duduknya.
            “Tania?”
            “Eh. Iya ada apa. M..Maafkan aku kemarin.” Ucapnya dengan gugup.
            “Maaf untuk apa, kan kamu tidak salah. Oh iya, aku tahu kamu tidak nyaman sama Meldy dan Carla kan. Jadi kenapa kamu tidak menghindar?”
            “I..Iya. Tapi aku takut, mereka pasti akan menyakiti aku.”
            “Kamu tidak perlu takut. Sekarang kamu tidak perlu lagi menuruti kemauan mereka. Lagi pula masih banyak kok yang mau menjadi temanmu.” Ucapku menenangkannya.
            “Terimakasih Lucy.” Dia mengucapkannya sambil tersenyum. Itu membuatku merasa senang.
            Hari demi hari telah kami lalui bersama. Aku, Gray, dan Titania. Namun, masih tetap dengan gangguan-gangguan yang menyertai. Tentunya gangguan dari Meldy dan Carla. Mereka selalu mengganggu orang-orang yang ada disekitarnya, dan menurutnya mungkin semua itu menyenangkan. Namun tidak bagi kami. Tapi sepertinya meeka paling tidak suka denganku.
            Sore itu aku sedang berjalan sendirian di taman sekolah. Tiba-tiba ada kertas-kertas yang berjatuhan. Karena aku merasa penasaran, aku mencoba mencari dimana kertas-kertas itu berasal. Saat aku mendongak ke atas, byurr. Bau amis menyeruak diseluruh tubuhku. Aku membuka mata dan semuanya telah penuh dengan telur. Ternyata itu semua perbuatan Meldy dan Carla. Suara riuh mulai terdengar. Bukan suara yang membantu bagiku, namun suara ejekan. Aku tetap diam dan tak bergerak sedikitpun.
            “Haha. Aduhh.. Kasian sekali ya. Ada anak culun yang nggak sabar buat mandi.”
            Aku menarik nafas panjang dan mulai berjalan menjauhinya. Belum sampai 2 langkah ada yang mendorongku dari belakang. Tentu perbuatan Meldylah yang seperti itu. Aku jatuh tersungkur namun ada tangan lain yang menahanku agar tidak jatuh. Itu adalah Gray, sahabatku. Aku dibantunya untuk berdiri. Dengan pandangan menunduk aku melihat kaca mataku tergeletak di depanku. Tanganku mencoba meraihnya. Belum sampai aku mengambilnya, Meldy lewat dan menginjak kaca mataku sampai hancur. Aku tidak berani menatap orang tanpa memakai kaca mata itu. Entah kenapa aku merasa tidak percaya diri saat tidak memakainya. Hingga akhirnya aku berlari ke gerbang sekolah. Kakakku sudah menunggu disana.
            “Kamu kenapa?” Tanyanya dengan nada cemas. Tanpa menjawab aku langsung naik dan terus menunduk. Aku ingin cepat sampai rumah, hanya itulah yang ada dalam benakku. Kakakku seolah-olah mengerti isi hatiku sampai akhirnya dia berkata.
            “Baiklah, kita akan segera pulang.”
            Sesampainya di rumah aku langsung membersihkan diriku.
            Saat makan malam selesai, seperti biasa keluargaku akan berkumpul di ruang keluarga. Kakak mulai membuka pembicaraan.
            “Ada apa denganmu tadi?” Aku tidak menjawab.
            “Jika ada masalah, ceritakanlah!” Ucap ayahku dengan nada lembut.
            Akhirnya aku menceritakan semua yang terjadi padaku selama ini.
            “Mungkin ini sudah saatnya, Nak.” Jawab ibuku.
            “Apa ini adalah yang terbaik, Bu?”
            “Mungkin saja iya.” Ucap ibuku.
            “Kamu harus menjalankan apa yang sudah menjadi keputusanmu, Dik. Itu semua adalah pilihanmu.”
            “Baiklah, Kak. Aku akan melakukannya besok.”
            Malam ini adalah malam yang penuh dengan pembicaraan panjang. Dimana ibu, ayah, dan kakakku mengucapkan kata-kata yang membangkitkan diriku. Selama ini, merekalah yang membantu diriku untuk bangkit. Itulah kenapa aku sayang kepada mereka semua. Merekalah yang terbaik untukku.
            Pagi ini aku akan menjalani keputusanku. Aku berangkat di antar kakakku. Tentunya setelah memohon doa kepada kedua orang tuaku.
            Sampai sekolah aku berjalan seperti biasa. Tapi, aku mendapat suasana yang berbeda kali ini. Semua pandangan berpusat di diriku. Namun ini bukanlah pandangan sinis yang biasanya aku temui. Mungkin ini adalah suasana baru yang akan kutemui setelah memilih keputusanku.
            Aku sampai di depan kelasku. Aku membuka pintu dengan perlahan. Suasana hening aku dapatkan. Ya, karena kelas akan dimulai pukul 11 dan ini masih pukul 10. Aku menuju tempat dudukku dan meletakkan tasku. Aku menuju jendela dan berdiri memandangi keadaan luar. Merenungkan keputusanku
            Tak terasa, kelas akan dimulai lima belas menit lagi. Kudengar suara pintu terbuka. Aku tidak segera menoleh dan tetap menikmati suasana ini. Terdengar langkah kaki yang menuju kearahku. Dia berdiri di sampingku tanpa melihatku.
            “Kamu murid baru?” tanyanya padaku. Aku mengenali suara itu, suara yang biasa aku dengar.
            “Bukan.” Jawabku singkat. Aku takut dia akan mengetahui siapa aku sebenarnya.
            Aku menolehkan kepalaku kearahnya. Begitu juga dengan dia. Dia seperti terkejut saat melihatku. Aku merasa takut dan menundukkan kepalaku.
            “L.. Lucy! Apakah kamu Lucy yang pernah kukenal?” tanyanya dengan nada sedih.
            “Ya. Ya Gray, aku adalah Lucy yang pernah kau kenal.”
            Dia diam dan hampir menitikkan air mata. Beberapa detik kemudian air itu jatuh. Namun bukan air mata kesedihan yang dijatuhkannya. Itu adalah air mata bahagia. Tanpa sadar aku juga merasakan itu.
            Tiba-tiba semuanya datang. Semua terkejut. Dan kelas itu sekarang terasa hening. Banyak yang bertanya-tanya, siapa aku. Ya, mereka semua terkejut melihat keadaanku. Aku yang dilihatnya sekarang adalah seorang gadis tanpa kacamata, tanpa kuncir dua, dan tanpa tampilan yang biasa mereka sebut dengan penampilan culun. Sekarang aku adalah sosok orang yang berbeda dimata mereka.
            Hingga pelajaran hari ini berakhir aku belum berani berbicara dengannya. Aku masih merasa takut. Sekarang kami sedang berjalan menuju sebuah pohon besar di taman.
Hening menyelimuti suasana ini. Hingga akhirnya dia berkata.
            “Aku merasa senang.” Aku ingin menjawab bahwa aku juga senang, tapi entah kenapa aku tak mampu mengucapkannya.
            “Kamu tidak perlu takut, aku tidak akan marah.” Dia berkata seolah-olah mengetahui hal-hal yang sedang aku pikirkan saat ini.
            Aku tersenyum dan memberanikan diri menatapnya. Dia juga menampakkan senyuman yang sudah lama tidak aku lihat. Senyuman sesosok sahabat yang pernah terpisah.
            Saat ini menjadi kenangan bagi diriku. Karena ini adalah hasil dari keputusan dari apa yang telah aku pilih. Aku melakukan ini karena aku tidak ingin memiliki sahabat yang tidak benar-benar ingin menjadi sahabatku. Aku ingin memiliki sahabat yang benar-benar ingin menjadi sahabatku, bukan karena kekayaan orang tuaku ataupun penampilanku.

            Sore ini aku menyaksikan tenggelamnya sang mentari bersama sahabat terbaikku. Hal sama yang pernah terjadi beberapa tahun lalu. Di bawah sebuah pohon besar, dan duduk dibawahnya. Menikmati suasana indah yang telah diciptakan Tuhan, namun itu semua terjadi di tempat yang berbeda.    

0 komentar:

Posting Komentar