Keputusan
Oleh
Bulan Fiha Rahmawati
Hembusan
angin sepoi-sepoi di sebuah bukit yang luas. Membuat hati tenang dan sejuk.
Hamparan bukit nan luas, membuat indah mata memandang. Di bawah sebuah pohon
besar, duduklah seorang gadis. Gadis itu sedang menikmati suasana indah yang
telah diciptakan Tuhan. Seorang gadis yang berparas cantik. Gadis dengan rambut
pirang sepinggang. Matanya sangat indah dan mempesona. Hidung yang mancung dan
senyumnya yang manis menambah kesempurnaan dirinya.
Seorang
gadis yang sangat beruntung. Hidup dalam keluarga kaya. Namun, bukan itulah
yang membuat dia seorang gadis yang beruntung. Hal lain yang ia didapatkan
adalah kebahagiaan selalu meliputi keluarga itu. Hidup dengan dikenal banyak
orang. Bukan dikenal hanya karena kekayaan, namun dikenal sebagai gadis yang
baik dan sangat ramah.
Tanpa
ada yang menyadari, ada seorang laki-laki yang tengah mengamatinya. Laki-laki
yang pemalu, yang ingin mengenal lebih jauh gadis yang tengah diperhatikannya. Merasa
kurang nyaman, gadis itu menolehkan kepala. Hingga akhirnya, seorang gadis yang
tengah menikmati suasana indah itu melihat seorang laki-laki yang diam-diam
memperhatikannya.
“Hey,
kemarilah.” Ucap gadis itu dengan suara yang lembut. Laki-laki itu mendekat
dengan perasaan takut dan malu yang meliputinya. Lama mereka saling
berbincang-bincang, mentari mulai pergi
meninggalkan tahtanya. Hingga mereka harus berpisah dan mengakhiri hari itu
bersama.
Hampir
setiap hari mereka selalu bersama menikmati indahnya suasana di bukit itu.
Perasaan senang yang selalu mereka dapatkan. Namun, sore ini suasana menjadi
berubah. Suasana mulai berubah ketika sang gadis mengucapkan kata perpisahan
kepada laki-laki tersebut. Hanya perasaan sedih dan kecewa yang ada dalam benak
laki-laki itu. Perpisahan mereka diiringi dengan tenggelamnya sang mentari.
Laki-laki
itu selalu terlihat murung dan tidak pernah tersenyum semenjak kepergian gadis
itu. Karena gadis itu merupakan sahabat pertama yang sangat dekat dan sangat
akrab dengannya. Merasa khawatir dengan kondisi cucu yang sangat disayangi itu.
Akhirnya, sang nenek menyerahkan kembali cucu kesayangannya itu kepada orang
tuanya yang ada di kota.
Mentari
pagi mulai menampakkan senyum indahnya. Sepasang mata yang indah itu mulai
terbuka. Pemilik mata itu mulai menghirup udara segar dan suasana yang sedikit
asing baginya.
Disinilah
aku. Mulai mempersiapkan diri memasuki suasana yang baru. Aku bersiap-siap
pergi kuliah. Tempat dimana aku akan mengabdikan diri pada tahap selanjutnya
untuk mendapatkan jati diriku yang sebenarnya.
Aku
memulai aktivitasku pagi ini. Sarapan bersama keluarga. Hal ini merupakan hal
yang manis bagiku. Berada ditengah-tengah keluarga yang bahagia. Sesibuk apapun
keluargaku, kami pasti tetap meluangkan waktu agar kami selalu bisa bersama.
Walaupun itu bukanlah waktu yang lama, aku tetap bahagia bersama mereka semua.
Pagi
ini aku akan diantar kakakku untuk menuju sekolah baruku. Hal itu kulakukan,
tentunya setelah berpamitan kepada kedua orang tuaku. Aku diantar kakak dengan
mengendarai motor sport kesayangannya.
Inilah
aku, seorang gadis yang memakai kacamata dan rambut dikuncir dua. Dengan tampil
sederhana dan apa adanya, aku mulai memasuki gerbang sekolah. Salah satu
sekolah ternama di kota ini.
Aku
berjalan dengan santai, walaupun aku banyak menjadi bahan perhatian. Tak
sedikit dari mereka yang menatapku dengan tatapan tidak suka dan ada juga yang
mengejekku. Aku tak merasa risih atau apapun. Karena memang inilah aku. Suasana
pertama yang aku dapatkan di sekolah ini adalah suasana baru yang tentunya
belum pernah kurasakan di sekolah lamaku. Aku tetap sabar dan ingin menjalani
ini semua layaknya siswa biasa. Karena ini memang sudah menjadi keputusanku.
Saat
ini aku sedang menuju ruang kelas. Aku berjalan di samping dosen yang akan
mengajar di kelas pagi ini. Aku mulai berimajinasi apa yang akan kulakukan
nanti di kelas dan masih banyak lagi yang telah kupikirkan.
Tak
terasa aku sampai di depan kelas. Suara riuh yang semula riuh berubah 180
derajat. Sekarang sama sekali tidak ada suara yang aku dengar setelah dosen
memasuki ruang kelas. Aku mulai beranggapan bahwa wanita yang mejadi dosen di
sampingku ini adalah wanita yang memiliki pribadi tegas dan disiplin. Sampai
akhirnya ia mulai berbicara.
“Hari
ini kita kedatangan murid baru.” Semua orang mulai berbisik-bisik. Aku sangat
yakin kalau mereka membicarakanku. Suara bising itu mulai hilang kembali saat
mereka semua mendapat tatapan dari dosen itu. Entah tatapan apa yang telah
diberikannya, tetapi sekarang suara itu sudah lenyap kembali.
“Perkenalkan
dirimu.” Ucap dosen itu dengan nada datar. Akupun hanya membalasnya dengan
anggukan kepala.
“Perkenalkan,
namaku Lucy.”
“Baiklah,
silahkan duduk di tempat yang kosong.” Aku mulai mengamati dimana aku akan
duduk. Dan akhirnya aku memutuskan untuk duduk di dekat jendela bagian
belakang.
Setelah
itu suasana menjadi biasa sampai akhirnya pelajaran pertama hari ini telah usai.
Tak terasa ternyata ruang kelas sudah sepi. Akupun memutuskan untuk membenahi
peralatanku. Saat aku hendak keluar kelas aku melihat seorang laki-laki yang
nampak murung di samping tempat dudukku. Akhirnya aku mencoba memberanikan
diriku untuk menyapanya.
“Hey!”
Dia nampaknya tidak mendengar ucapanku. Aku mencoba menepuk pundaknya, aku
yakin dia sedang melamun. Ia akhirnya menolehkan kepalanya kearahku. Aku merasa
sedikit terkejut namun aku mencoba menyembunyikan rasa keterkejutanku.
Entah
bagaimana, aku sekarang sudah bersama
lelaki itu dan sedang duduk di taman sekolah. Aku mulai membuka pembicaraan.
“Emm.
Nama kamu siapa?” Dia sedikit terkejut, dan aku yakin dia tadi pasti melamun
lagi.
“Eh,
iya namaku Gray. Namamu siapa?” Aku yakin bahwa dia tidak menyadari
kedatanganku sebagai murid baru di kelas tadi.
“Namaku
Lucy.” Ucapku sambil tersenyum. Tetapi raut mukanya sedikit berubah.
“Kenapa,
apa ada yang salah?”
“Ti..tidak
kok.” Ucapnya dengan nada gugup. “Eh, iya kenapa kamu ada di kelasku?”
“Kamu
lupa ya? Aku kan murid baru disini.”
“Oh,
maaf aku tidak memperhatikan tadi.”
“Iya,
tidak apa-apa.”
Tak
terasa kami sudah berbincang-bincang cukup lama. Dan waktu telah menunjukkan
dirinya, waktu dimana kami akan melanjutkan pelajaran di kelas. Kami segera
masuk kelas. Dosen belum datang. Banyak orang yang melihatku dengan tatapan
tidak suka namun aku mengabaikannya.
“Hey,
bagaimana murid seperti kamu bisa jalan bareng Ray?” Aku tetap mengabaikannya.
Saat
sebelum dosen datang aku menyempatkan diri untuk bertanya kepada Gray.
“Ray,
aku mau tanya. Kenapa mereka bilang seperti itu?”
“Entahlah,
mungkin karena aku tidak pernah bergaul dengan orang lain.”
“Memangnya
kenapa?” Belum sempat menjawab pertanyaanku, seorang dosen datang.
“Akan
kujelaskan lain kali” Ucapnya padaku sedikit berbisik. Akupun tersenyum dan
menganggukkan kepala.
Hari
pertamaku di sekolah baru ini telah usai. Akupun membereskan peralatanku dan
bergegas untuk pulang. Entah kenapa sepertinya agendaku untuk pulang hari ini
akan terhambat. Namun, tanpa sadar aku tersenyum.
“Hey..
Wah ada murid baru yang pinter cari muka nih!” Ucap salah seorang dari 3 orang yang
berjalan mendekatiku. Dan sepertinya mereka ada dalam satu geng. Tapi, aku
tetap berjalan seperti biasa dan tidak menghiraukannya.
Tiba-tiba
salah seorang dari mereka mengguyurkan satu botol minuman dan jatuh tepat di
atas kepalaku. Aku tetap berjalan. Tapi orang yang sudah berbicara tadi mencoba
menahan tanganku. Kucoba untuk menepis tangan itu namun sangat sulit. Aku
memejamkan mataku dan mencoba untuk tetap tenang. Tidak lama kemudian genggaman
erat di tangan kiriku sudah sirna dan ada tangan lain yang membawaku entah
kemana. Aku menurut untuk mengikuti tangan itu karena aku merasa tenang. Dan
aku mulai untuk membuka mataku.
“R..Ray?”
Aku kaget. Ternyata yang membawaku adalah Ray. Sekarang kami sudah ada di
taman. Tempat dimana kami duduk siang tadi tadi.
“Tolong,
kamu jangan meladeni Meldy dan Carla”
“Memangnya
mereka itu siapa?”
“Mereka
sudah biasa begitu. Selalu mengganggu orang lain.”
“Oh
iya. Yang satunya tadi siapa?, dia tidak
seperti orang jahat.”
“Itu
Titania. Dia baik dan juga pandai. Karena kepandaiannya itu dia dimanfaatkan
oleh Meldy dan Carla. Dia tidak berani melawan karena dia merasa takut.”
“Oh
iya. Dan satu lagi ada yang ingin kutanyakan padamu.”
“Tentu.”
“Emm..
Jadi apa maksudmu dengan perkataanmu tadi, bahwa kamu tidak pernah bergaul
dengan orang lain?” Ucapku dengan hati-hati.
“Oh,
masalah itu. Entahlah aku sendiri kadang-kadang juga merasa bingung. Jadi, dari
dulu aku adalah orang yang pemalu. Karena hal itulah aku tidak pernah punya
teman. Tapi dulu aku pernah menjumpai seorang gadis, gadis itu sangat cantik.
Aku berteman sangat akrab dengannya, mungkin itu adalah teman terbaikku. Tapi
aku berubah murung sejak dia mengatakan untuk pergi. Dan sampai sekarang aku
belum mempunyai sahabat yang sangat baik seperti gadis itu.”
“Memangnya
seperti apa gadis itu, dan sebegitu pentingnyakah orang itu?”
“Gadis
itu adalah seorang gadis yang baik dan sangat cantik. Dia adalah sahabat pertamaku
jadi dia sangat penting bagiku. Dia selalu menasihati dan menegurku jika aku
berada dalam jalan yang salah, dia juga selalu menghiburku saat aku sedih.”
“Lalu
kenapa kamu tidak mencoba untuk mencari sahabat baru?”
“Entahlah.
Tapi sampai sekarang tidak ada satu orangpun yang seperti dia.”
“Dan
kenapa kamu mau berteman denganku?”
“Karena
aku rasa kamu punya kemiripan dengan orang itu. Dari cara bicaramu yang lembut
itu aku kembali teringat kepada gadis yang dulu pernah kutemui.” Ucapnya dengan
menundukkan kepala.
“Maaf.”
Dia mengangkat kepalanya saat aku mengucapkan kata itu, dari sorot matanya
terlihat bahwa dia sedang bertanya kenapa.
“Karena
aku sudah membuatmu untuk mengingat kembali kenanganmu.”
“Tidak
apa-apa kok, aku senang bisa berkenalan denganmu. Aku harap kamu mau menjadi
sahabatku.”
“Tentu.”
Jawabku dengan tersenyum.
Setelah
pembicaraan yang cukup panjang itu kamipun pulang ke rumah masing-masing.
Setelah
sampai di rumah aku sempat terpikir Titania. Titania, aku merasa kasihan
kepadanya. Dan aku berencana untuk membebaskannya dari kekangan Meldy dan
Carla. Tapi aku tidak ingin dianggap sebagai pahlawan dan mencampuri urusan
orang lain. Namun, disisi lain aku juga tidak ingin membiarkan orang lain
menderita. Dan aku telah memutuskan bahwa aku akan membantunya. Ini sudah
menjadi pilihanku dan aku akan berusaha unntuk menjalankannya apapun hasilnya
nanti.
Keesokan
harinya aku pergi sekolah diantar kakakku lagi. Dan aku menjalani hariku
seperti biasa. Tapi hari ini aku akan melakukan hal yang sudah menjadi
pilihanku. Membantu Titania untuk keluar dari masalahnya.
Seperti
biasa hari ini adalah hari yang penuh ejekan bagiku. Mulai dari orang yang
mengatakanku tidak pantas untuk sekolah disini, mengatakan kalau aku culun,
melempariku dengan kertas, dan masih banyak lagi yang dilakukan untuk
menjelek-jelekkanku. Aku tetap sabar dan tanpa menghiraukan mereka semua, aku
hanya menganggapnya sebagai angin yang berlalu saja. Karena kakakku pernah
berkata bahwa jangan pedulikan orang yang berusaha merendahkanmu, karena hal
itu semata-mata karena mereka iri padamu.
Saat
ini aku sedang memperhatikan 3 orang yang sedang berjalan di koridor sekolah.
Banyak orang yang minggir karena orang itu. Aku merasa kasihan kepada orang
yang disakiti oleh mereka, tapi aku juga sangat kasihan kepada Titania yang
berjalan dibelakang mereka dan membawakan
tas mereka. Aku memutuskan untuk menemu Titania sepulang sekolah.
Sepulang
sekolah aku menghampiri Titania di tempat duduknya.
“Tania?”
“Eh.
Iya ada apa. M..Maafkan aku kemarin.” Ucapnya dengan gugup.
“Maaf
untuk apa, kan kamu tidak salah. Oh iya, aku tahu kamu tidak nyaman sama Meldy
dan Carla kan. Jadi kenapa kamu tidak menghindar?”
“I..Iya.
Tapi aku takut, mereka pasti akan menyakiti aku.”
“Kamu
tidak perlu takut. Sekarang kamu tidak perlu lagi menuruti kemauan mereka. Lagi
pula masih banyak kok yang mau menjadi temanmu.” Ucapku menenangkannya.
“Terimakasih
Lucy.” Dia mengucapkannya sambil tersenyum. Itu membuatku merasa senang.
Hari
demi hari telah kami lalui bersama. Aku, Gray, dan Titania. Namun, masih tetap
dengan gangguan-gangguan yang menyertai. Tentunya gangguan dari Meldy dan
Carla. Mereka selalu mengganggu orang-orang yang ada disekitarnya, dan
menurutnya mungkin semua itu menyenangkan. Namun tidak bagi kami. Tapi
sepertinya meeka paling tidak suka denganku.
Sore
itu aku sedang berjalan sendirian di taman sekolah. Tiba-tiba ada kertas-kertas
yang berjatuhan. Karena aku merasa penasaran, aku mencoba mencari dimana
kertas-kertas itu berasal. Saat aku mendongak ke atas, byurr. Bau amis
menyeruak diseluruh tubuhku. Aku membuka mata dan semuanya telah penuh dengan
telur. Ternyata itu semua perbuatan Meldy dan Carla. Suara riuh mulai
terdengar. Bukan suara yang membantu bagiku, namun suara ejekan. Aku tetap diam
dan tak bergerak sedikitpun.
“Haha.
Aduhh.. Kasian sekali ya. Ada anak culun yang nggak sabar buat mandi.”
Aku
menarik nafas panjang dan mulai berjalan menjauhinya. Belum sampai 2 langkah
ada yang mendorongku dari belakang. Tentu perbuatan Meldylah yang seperti itu.
Aku jatuh tersungkur namun ada tangan lain yang menahanku agar tidak jatuh. Itu
adalah Gray, sahabatku. Aku dibantunya untuk berdiri. Dengan pandangan menunduk
aku melihat kaca mataku tergeletak di depanku. Tanganku mencoba meraihnya.
Belum sampai aku mengambilnya, Meldy lewat dan menginjak kaca mataku sampai
hancur. Aku tidak berani menatap orang tanpa memakai kaca mata itu. Entah
kenapa aku merasa tidak percaya diri saat tidak memakainya. Hingga akhirnya aku
berlari ke gerbang sekolah. Kakakku sudah menunggu disana.
“Kamu
kenapa?” Tanyanya dengan nada cemas. Tanpa menjawab aku langsung naik dan terus
menunduk. Aku ingin cepat sampai rumah, hanya itulah yang ada dalam benakku.
Kakakku seolah-olah mengerti isi hatiku sampai akhirnya dia berkata.
“Baiklah,
kita akan segera pulang.”
Sesampainya
di rumah aku langsung membersihkan diriku.
Saat
makan malam selesai, seperti biasa keluargaku akan berkumpul di ruang keluarga.
Kakak mulai membuka pembicaraan.
“Ada
apa denganmu tadi?” Aku tidak menjawab.
“Jika
ada masalah, ceritakanlah!” Ucap ayahku dengan nada lembut.
Akhirnya
aku menceritakan semua yang terjadi padaku selama ini.
“Mungkin
ini sudah saatnya, Nak.” Jawab ibuku.
“Apa
ini adalah yang terbaik, Bu?”
“Mungkin
saja iya.” Ucap ibuku.
“Kamu
harus menjalankan apa yang sudah menjadi keputusanmu, Dik. Itu semua adalah
pilihanmu.”
“Baiklah,
Kak. Aku akan melakukannya besok.”
Malam
ini adalah malam yang penuh dengan pembicaraan panjang. Dimana ibu, ayah, dan
kakakku mengucapkan kata-kata yang membangkitkan diriku. Selama ini, merekalah
yang membantu diriku untuk bangkit. Itulah kenapa aku sayang kepada mereka
semua. Merekalah yang terbaik untukku.
Pagi
ini aku akan menjalani keputusanku. Aku berangkat di antar kakakku. Tentunya
setelah memohon doa kepada kedua orang tuaku.
Sampai
sekolah aku berjalan seperti biasa. Tapi, aku mendapat suasana yang berbeda
kali ini. Semua pandangan berpusat di diriku. Namun ini bukanlah pandangan
sinis yang biasanya aku temui. Mungkin ini adalah suasana baru yang akan
kutemui setelah memilih keputusanku.
Aku
sampai di depan kelasku. Aku membuka pintu dengan perlahan. Suasana hening aku
dapatkan. Ya, karena kelas akan dimulai pukul 11 dan ini masih pukul 10. Aku
menuju tempat dudukku dan meletakkan tasku. Aku menuju jendela dan berdiri
memandangi keadaan luar. Merenungkan keputusanku
Tak
terasa, kelas akan dimulai lima belas menit lagi. Kudengar suara pintu terbuka.
Aku tidak segera menoleh dan tetap menikmati suasana ini. Terdengar langkah kaki
yang menuju kearahku. Dia berdiri di sampingku tanpa melihatku.
“Kamu
murid baru?” tanyanya padaku. Aku mengenali suara itu, suara yang biasa aku
dengar.
“Bukan.”
Jawabku singkat. Aku takut dia akan mengetahui siapa aku sebenarnya.
Aku
menolehkan kepalaku kearahnya. Begitu juga dengan dia. Dia seperti terkejut
saat melihatku. Aku merasa takut dan menundukkan kepalaku.
“L..
Lucy! Apakah kamu Lucy yang pernah kukenal?” tanyanya dengan nada sedih.
“Ya.
Ya Gray, aku adalah Lucy yang pernah kau kenal.”
Dia
diam dan hampir menitikkan air mata. Beberapa detik kemudian air itu jatuh.
Namun bukan air mata kesedihan yang dijatuhkannya. Itu adalah air mata bahagia.
Tanpa sadar aku juga merasakan itu.
Tiba-tiba
semuanya datang. Semua terkejut. Dan kelas itu sekarang terasa hening. Banyak
yang bertanya-tanya, siapa aku. Ya, mereka semua terkejut melihat keadaanku.
Aku yang dilihatnya sekarang adalah seorang gadis tanpa kacamata, tanpa kuncir
dua, dan tanpa tampilan yang biasa mereka sebut dengan penampilan culun.
Sekarang aku adalah sosok orang yang berbeda dimata mereka.
Hingga
pelajaran hari ini berakhir aku belum berani berbicara dengannya. Aku masih
merasa takut. Sekarang kami sedang berjalan menuju sebuah pohon besar di taman.
Hening menyelimuti suasana ini.
Hingga akhirnya dia berkata.
“Aku
merasa senang.” Aku ingin menjawab bahwa aku juga senang, tapi entah kenapa aku
tak mampu mengucapkannya.
“Kamu
tidak perlu takut, aku tidak akan marah.” Dia berkata seolah-olah mengetahui
hal-hal yang sedang aku pikirkan saat ini.
Aku
tersenyum dan memberanikan diri menatapnya. Dia juga menampakkan senyuman yang
sudah lama tidak aku lihat. Senyuman sesosok sahabat yang pernah terpisah.
Saat
ini menjadi kenangan bagi diriku. Karena ini adalah hasil dari keputusan dari
apa yang telah aku pilih. Aku melakukan ini karena aku tidak ingin memiliki
sahabat yang tidak benar-benar ingin menjadi sahabatku. Aku ingin memiliki
sahabat yang benar-benar ingin menjadi sahabatku, bukan karena kekayaan orang
tuaku ataupun penampilanku.
Sore
ini aku menyaksikan tenggelamnya sang mentari bersama sahabat terbaikku. Hal
sama yang pernah terjadi beberapa tahun lalu. Di bawah sebuah pohon besar, dan
duduk dibawahnya. Menikmati suasana indah yang telah diciptakan Tuhan, namun
itu semua terjadi di tempat yang berbeda.
0 komentar:
Posting Komentar