Sepotong Cinta dalam Diam
Jakarta, tahun pertama
Perempuan,
Kau pasti tahu sakitnya cinta yang tak terkatakan. Cinta yang hanya mampu didekap dalam bungkam. Kata orang bahkan diam berbicara. Tapi menurutku, hal itu tidak berlaku dalam cinta. Sebab cinta harus diekspresikan dan pantang dibawa diam. Sebab cinta harusnya dinyatakan, lalu dibuktikan dengan sikap. Begitu seharusnya cinta.
Kau pasti tahu sakitnya cinta yang tak terkatakan. Cinta yang hanya mampu didekap dalam bungkam. Kata orang bahkan diam berbicara. Tapi menurutku, hal itu tidak berlaku dalam cinta. Sebab cinta harus diekspresikan dan pantang dibawa diam. Sebab cinta harusnya dinyatakan, lalu dibuktikan dengan sikap. Begitu seharusnya cinta.
Tapi aku memang tidak
punya pilihan.
Maafkan!
Maafkan!
Sebuah bingkisan dan
sepucuk surat tergeletak di bibir ranjang. Dee memandangnya dengan
keingintahuan yang besar. Matanya yang memiliki kelopak indah terbuka lebar.
Sementara mulutnya sejak tadi menimbulkan suara gumaman tak jelas. Kedua bola
mata gadis itu tak beranjak juga dari bingkisan dan sepucuk surat yang ditempel
menyatu dengannya.
Paket kesasar, kalau boleh
disebut Dee demikian, diterimanya pagi ini dari tukang pos, lelaki tua yang
mengayuh sepeda dengan susah payah. Dee tidak mengerti mengapa lelaki itu masih
bersikeras mengantar surat hanya dengan sepeda, sementara tukang pos yang lain
telah lama meninggalkan kendaraan antik itu, beralih ke sepeda motor.
“Buat siapa, Pak?”
Tukang pos itu tak
menjawab. Hanya memintaku menerima paket kesasar itu.
“Kok nggak ada namanya,
Pak? Yakin buat di sini?”
Kali ini Pak Pos
menggerakkan telunjuknya pada alamat lengkap yang tertulis di bagian atas
amplop yang menempel pada sebuah paket.
Jl. Kebon Kosong Gg. I no
10 A.
Kemayoran, Jakarta Pusat
Kemayoran, Jakarta Pusat
Dee tersenyum. Kagum
dengan konsistensi Pak Pos tua di depannya. Sejak dulu lelaki itu tak pernah
banyak bicara. Pekerjaannya sendiri memang hanya mengantarkan surat. Jadi sama
sekali bukan kesalahan jika Pak Tua itu melakukannya dengan sedikit bicara atau
sekedar menyodorkan amplop. Lagipula tidak akan ada yang memberinya bonus lebih
seandainya ia bersikap ramah dan sedikit berbasa-basi.
Dee tidak menyalahkan si
tukang pos yang tanpa ragu menyodorkan sebuah bingkisan dengan sepucuk surat
menempel di atasnya ke rumah Dee. Sebab alamatnya memang tertera jelas.
Masih dengan segudang rasa
penasaran Dee membawa langkahnya masuk ke dalam rumah sambil menenteng paket
dari Pak Pos barusan. Lalu gadis berusia duapuluh tiga tahun itu menjatuhkan
paket di tangannya ke sofa, tempat tiga gadis lainnya sedang asyik menonton
tivi.
Paket meluncur dan jatuh
tepat di tengah-tengah sofa. Tiga gadis kaget, melupakan tontonan seru Oprah
Winfrey’s Show dan berebut lebih dulu mengambil paket yang jatuh. Andra yang
pertama berhasil merebut paket yang jatuh dekat pangkuan Ita. Hiruk-pikuk
segera terjadi.
Ita berusaha merebut paket
yang jatuh di pangkuannya sebab mengira itu memang ditujukan Dee untuknya.
Sementara Anik tidak mau tinggal diam, ikut bertarung. Adegan a la anak kecil
itu berlangsung cukup seru, setidaknya di mata Dee. Sayang semua menjadi
antiklimaks ketika Andra, Ita, dan Anik tak menemukan nama yang dituju sang
pengirim. Amplop yang menempel pada bingkisan itu kosong. Hanya ada sebuah
alamat yang ditulis tangan.
Ketiganya lalu mengalihkan
pandangan pada Dee yang barusan menjatuhkan badan ke sofa.
“Dee, paket siapa, nih?”
“Kok nggak ada nama
pengirimnya?”
“Boro-boro pengirim. Nama
yang dituju aja nggak ada!”
Dee tersenyum, menegakkan
duduknya. Kepala gadis itu dicondongkan ke depan, hingga berhadapan cukup dekat
dengan wajah ketiga temannya.
“Aneh kan?”
Andra, Ita, dan Anik mengangguk.
Andra, Ita, dan Anik mengangguk.
“Memang aneh!”
Dee menjatuhkan badannya lagi, tertawa geli sendiri.
Dee menjatuhkan badannya lagi, tertawa geli sendiri.
“Tidak lucu!” Andra
serta-merta menukas.
Anik yang tampak berpikir keras menambahi, “Pengirimnya pasti memang ingin membuat bingung kita!”
Anik yang tampak berpikir keras menambahi, “Pengirimnya pasti memang ingin membuat bingung kita!”
Ita lain lagi pendapatnya,
gadis berkulit hitam manis itu merebut bingkisan di tangan Anik, lalu
mendekatkannya ke telinga, sebelum mengembuskan nafas lega. Ia tak mendengar
suara detak jam dari dalam bingkisan.
“Aman!”
Kesunyian berlangsung. Tidak terlalu lama sebab Dee yang cerewet dan punya banyak ide langsung mengajukan usul.
Kesunyian berlangsung. Tidak terlalu lama sebab Dee yang cerewet dan punya banyak ide langsung mengajukan usul.
“Kita buka saja!”
Tiga gadis sebaya di depannya berpandangan, lalu menggelengkan kepala.
Tiga gadis sebaya di depannya berpandangan, lalu menggelengkan kepala.
“Kita nggak bisa membuka
paket yang bukan untuk kita, Dee. Itu namanya lancang dan tidak amanah!”
Dee diam lagi. Tapi tidak berapa lama mata bulatnya bersinar lagi.
Dee diam lagi. Tapi tidak berapa lama mata bulatnya bersinar lagi.
“Kalau begitu kita buka,
terus kita bungkus lagi, gimana? Siapa tahu penjelasannya ada di dalam
bingkisan ini?”
Andra cepat membantah, “Itu juga nggak boleh Dee. Kita nggak boleh membuka bingkisan ini, kecuali memang yakin milik kita. Siap tahu paket ini nyasar ke alamat sebelah. Mungkin saja kan pengirimnya salah menulis alamat.
Andra cepat membantah, “Itu juga nggak boleh Dee. Kita nggak boleh membuka bingkisan ini, kecuali memang yakin milik kita. Siap tahu paket ini nyasar ke alamat sebelah. Mungkin saja kan pengirimnya salah menulis alamat.
Ya, memang mungkin.
Dee mengerutkan kening,
bibirnya bergumam tak jelas, khas gadis itu jika sedang berpikir keras.
“Jadi gimana dong?”
Kali ini Ita yang paling tua di antara mereka angkat bicara,
Kali ini Ita yang paling tua di antara mereka angkat bicara,
“Kita biarkan dulu tiga
hari. Lihat-lihat, siapa tahu Pak Pos kembali dan mengatakan paket ini salah
alamat. Simpan saja sementara ini. Ok?”
Dee yang rasa penasarannya
sudah melewati ubun-ubun sebetulnya ingin menolak, tapi tak berdaya. Sebab tiga
rekannya yang lain sepakat dengan ide Ita. Maka beramai-ramai mereka menaruh
paket misterius itu ke atas lemari. Lalu memandanginya lama.
***
Jakarta, tahun ketiga
Perempuan,
Hari-hariku adalah
penantian. Perasaan gelisah yang kupikir tidak mungkin ada kini menjadi
rutinitas yang harus kuhadapi.
Dulu, aku memang
menghindar dari perasaan itu. Jatuh cinta, untuk apa? Aku orang miskin yang
harus menyelesaikan sekolah dan seabreg tanggung jawab, sebab Emak, salah satu
perempuan yang kuhormati, telah lama ditinggal mati ayah.
Aku tumbuh menjadi lelaki.
Sendiri.
Hidupku bagiku merupakan
perjuangan keras tanpa batas. Tak jarang aku merasa seperti kapal kecil yang
berjalan tanpa rasi bintang. Terapung-apung, sesekali membentur karang, dan
harus berbalik arah.
Namun, melihatmu pertama
kali di masjid sore itu.
Hatiku begitu saja bicara:
Kau adalah perempuanku. Takdirku!
Untuk pertama kali hidup tak sekadar mengalir.
Sebab kini aku punya cita-cita.
Hatiku begitu saja bicara:
Kau adalah perempuanku. Takdirku!
Untuk pertama kali hidup tak sekadar mengalir.
Sebab kini aku punya cita-cita.
Hari ketiga, Dee
mengangkat paket itu dari atas lemari, lalu menimang-nimangnya. Hatinya
menebak-nebak isi bungkusan di tangannya.
Tidak terlalu berat. Tidak
sampai satu kilo. Dee tahu pasti sebab barusan ia menaruh bingkisan itu di
timbangan. Rasa ingin tahu mendera dara bertubuh jangkung itu. Seharusnya
teman-temannya menyetujui usul Dee untuk mencoba menemukan jawaban di dalamnya.
Siapa tahu ada label nama pada isi bingkisan itu. Siapa tahu?
Dee menimang-nimangnya
lagi, lalu hati-hati meletakkan bingkisan itu di pinggir ranjang. Matanya
menyusuri huruf demi huruf tulisan tangan di amplop. Tulisan itu tegas, tegak
lurus, dan jelas. Mengingatkan Dee akan tulisan guru-guru bahasa Indonesianya
waktu SMA dulu. Tulisan orang zaman dulu, begitu teman-temannya sekelas biasa
bercanda.
Pasti penulisnya seorang
yang serius, pikir Dee lagi. Tulisan di atas amplop memang jauh dari modern.
Begitupun pilihan amplop. Terkesan oldies. Meski begitu entah mengapa itu
menyiratkan sesuatu yang dalam.
Dee melihat lebih dekat
amplop berwarna biru itu. Tampak guratan-guratan bekas lipitan, juga warna biru
yang agak pudar. Seolah surat itu telah menempuh jarak bertahun-tahun sebelum
tiba di rumah ini.
Dee tahu, ia tak bisa lagi
menunggu.
Tangan gadis itu menyobek
pinggiran kertas coklat dan meraih sebuah amplop yang meluncur dari dalamnya.
Namun baru sedikit ia membaca, terdengar langkah mendekati kamar. Ketika Dee
mengangkat wajah, Andra, Ita, dan Anik menatapnya dengan tangan terlipat di
dada, berdiri gagah di pintu. Terlambat, Dee tak sempat menyembunyikan surat
yang sedang dibacanya. Tak ada kesempatan lagi. Ita langsung merebut dan
mengembalikan surat yang juga tampak lusuh dan penuh lipitan dan menaruhnya di
atas bingkisan.
“Curang!”
Anik mengecam Dee. Tidak hanya itu, Andra dan Ita menekuk muka mereka. Kegusaran tergambar jelas, bahkan di dekik pipi Andra yang biasa terlihat ramah.
Anik mengecam Dee. Tidak hanya itu, Andra dan Ita menekuk muka mereka. Kegusaran tergambar jelas, bahkan di dekik pipi Andra yang biasa terlihat ramah.
“Kamu tidak amanah, Dee!”
Duh, kata ajaib itu lagi.
Duh, kata ajaib itu lagi.
Dee memandang ketiga teman
satu kosnya dengan paras merah, seperti maling jemuran yang kepergok. Malu dan
tak enak hati.
“Maafkan aku.”
Suasana kaku muncul. Dee tak sanggup berkata apa-apa lagi. Percuma berpanjang-panjang membela diri, toh ia memang bersalah.
Suasana kaku muncul. Dee tak sanggup berkata apa-apa lagi. Percuma berpanjang-panjang membela diri, toh ia memang bersalah.
Empat orang gadis di dalam
kamar termangu.
Bingkisan coklat dan
amplop berisi surat tergeletak telentang. Beberapa amplop lagi barusan meluncur
dari dalam bingkisan yang sobek. Dee memandangnya dengan perasaan ingin tahu
yang lebih besar. Lelaki dan perempuan tanpa nama, kini memetakan sederet tanda
tanya di kepalanya.
“Maafkan aku,” Dee memecah
keheningan, “tapi tidak mungkin berharap kemajuan hanya dengan menunggu. Sudah
tiga hari lebih.”
Dee mulai mendapatkan dukungan. Anik tampak bereaksi. Gadis bertubuh mungil itu manggut-manggut beberapa kali. Sementara Ita dan Andra tampak gelisah. Dee tertawa dalam hati, ia kenal kedua sahabatnya itu. Mereka pasti diam-diam sama penasarannya dengan dirinya. Surat-surat di dalam amplop yang ditulis dengan tinta berbeda itu mustahil dilewatkan begitu saja.
Dee mulai mendapatkan dukungan. Anik tampak bereaksi. Gadis bertubuh mungil itu manggut-manggut beberapa kali. Sementara Ita dan Andra tampak gelisah. Dee tertawa dalam hati, ia kenal kedua sahabatnya itu. Mereka pasti diam-diam sama penasarannya dengan dirinya. Surat-surat di dalam amplop yang ditulis dengan tinta berbeda itu mustahil dilewatkan begitu saja.
“Surat itu indah, kalian
harus membacanya.” Dee kembali memancing.
Andra bangkit, berjalan mondar-mandir. Ita melirik surat yang bagian pinggirnya sudah disobek. Dee sungguh menyebalkan!
Andra bangkit, berjalan mondar-mandir. Ita melirik surat yang bagian pinggirnya sudah disobek. Dee sungguh menyebalkan!
Andra menarik nafas
panjang. Lucu memang. Bingkisan itu bukan milik mereka. Aneh, bagaimana rasa
penasaran mereka terus berkembang seperti balon gas yang diisi udara.
“Masalahnya, kita nggak
berhak, Dee. Aku bukannya nggak penasaran. Surat ini, kalau benar indah seperti
katamu, hanya milik satu orang. Membacanya lebih dulu akan mengurangi rasa
hormat kita terhadap pemilik dan pembuatnya.”
Gagal lagi.
Dee memejamkan matanya.
Terbayang sosok lelaki tanpa nama yang menanti di dekat jendela, berharap
balasan atas surat yang dikirim. Terlukis seorang perempuan tanpa nama,
bertopang dagu, mendekap rindu.
Dee tak sabar!
Tapi ia tak bisa bergerak. Andra, Ita, dan Anik menatapnya dengan mata menukik.
Tapi ia tak bisa bergerak. Andra, Ita, dan Anik menatapnya dengan mata menukik.
Sebuah bingkisan berwarna
coklat dan beberapa pucuk surat. Dee menatapnya tak berkedip.
***
Jakarta, tahun kedelapan
Siapa yang bisa memilih
cinta, siapa yang bisa memutuskan kapan cinta harus hadir dan kepada siapa
cinta harus tumbuh? Tak ada!
Sebab cinta adalah
anugrah. Rahasia-Nya yang unik dan barangkali tak selalu bisa dijelaskan.
Aku mencintaimu, perempuan. Tanpa keraguan. Dan, dengan keyakinan penuh, aku menjatuhkan pilihan.
Dan aku bukan lelaki yang gampang menentukan pilihan atau mengubah pilihan yang telah dibuat. Aku adalah lelaki yang memilih dan sekaligus menerima risiko atas pilihan yang kubuat. Tak ada kata mundur.
Aku mencintaimu, perempuan. Tanpa keraguan. Dan, dengan keyakinan penuh, aku menjatuhkan pilihan.
Dan aku bukan lelaki yang gampang menentukan pilihan atau mengubah pilihan yang telah dibuat. Aku adalah lelaki yang memilih dan sekaligus menerima risiko atas pilihan yang kubuat. Tak ada kata mundur.
Mereka bilang mustahil.
Barangkali ada benarnya.
Tapi bukankah Tuhan adalah
tempat bagi semua kemustahilan? Itulah kenapa, dalam iman yang tak seberapa
selama delapan tahun ini, telah kusandarkan jawaban doa pada-Nya. Cita-cita
untuk bisa menjadi tua bersamamu.
Adapun penantian panjang
yang kulalui biarlah menjadi bagian sejarah betapapun sakit dan membuatku
tersiksa. Memandangmu dalam realita memang perih. Luka di atas luka tersiram
cuka.
Untunglah,
Pada malam-malam, engkau milikku.
Meski dalam mimpi yang kata orang semu.
Pada malam-malam, engkau milikku.
Meski dalam mimpi yang kata orang semu.
Dee termangu. Andra dan
Ita menahan nafas, sementara Anik mengusap airmata.
Tidak penting lagi
diceritakan bagaimana akhirnya mereka berempat bisa mendapatkan kata sepakat
untuk sama-sama membaca surat itu. Jeleknya lagi dalam alunan ‘Knife’, lagu
80-an yang memerihkan hati.
“Aku penasaran,” Dee
tiba-tiba angkat bicara, “sebetulnya apa sih yang terjadi? Kenapa mereka tidak
bisa bersatu?” ujar Dee lagi dengan pertanyaan yang sedikit norak dan rada-rada
sinetron, tapi sepertinya yang lain tak melihat itu. Mungkin disergap haru.
“Mungkin perempuan itu
tidak mencintai dia, Dee,” Ita menjawab.
“Terus?”
“Tapi lelaki itu sudah
memilih dan dia terus menunggu sampai si perempuan, suatu hari, mencintainya.”
Anik menggelengkan kepala,
“Mungkin lelaki itu
mencintai perempuan yang sudah menikah, makanya jadi mustahil.”
Bodoh! Desis Dee dalam hati.
Mengapa membiarkan cinta yang begitu menguras kesedihan tumbuh begitu dalam?
Dipertahankan lagi! Tapi cinta memang tak bisa memilih. Dan ternyata itu bukan
sekadar judul sinetron atau kalimat-kalimat klise yang bisa ditemukan di
buku-buku picisan.
“Aku nggak ngerti, kenapa
surat-surat itu tidak pernah diposkan sebelumnya? Begitu banyak
berlembar-lembar.”
“Lihat nih,” Andra yang
sejak tadi tak banyak bersuara, akhirnya buka mulut, “di surat ini ditulis
bahwa sebagian surat yang lain telah rusak dan tak bisa lagi dibaca karena
tertelan banjir.”
Lucu juga. Tapi Dee merasa
keterlaluan kalau sampai tertawa. Biar bagaimanapun banjir kan tragedi.
Mereka berempat seperti
lupa waktu. Sejak tadi masing-masing memilah-milah surat dan membaca
sendiri-sendiri. Ada seuatu pada kalimat-kalimat si lelaki yang membuat keempat
mahasiswi itu terhipnotis untuk terus mengikuti kisah si lelaki dan perempuan
yang sampai sekarang masih tanpa nama.
***
Jakarta, tahun kesebelas
Aku melihatmu hari ini.
Indah seperti biasa. Kau mengenakan baju rok n blus bermotif pink dan biru. Dua
warna yang menjadi favoritmu.
Sebelas tahun berlalu,
perempuan. Kau tetap satu-satunya perempuan yang membuatku sabar dan rajin
berdoa.
Waktu memang telah berlalu
sangat cepat tanpa bisa dicegah. Harus kuakui itu sama sekali tidak mengurangi
keindahan perempuanku. Satu wajah daun sirih yang hitam manis, tawa cerahmu,
dan sorot mata keibuan.
Ketika di tempat-tempat
lain ketulusan telah menguap dan sulit ditemukan, aku pun datang kepadamu.
Sebab pada wajah sederhana namun indah milikmu, kunikmati ketulusan melimpah.
Maka dalam diam harapan
kujahit. Suatu hari aku akan di sisimu, saat matahari terbit.
Anik kembali menghapus
airmatanya. Andra tampak masih serius dengan sebuah surat di tangannya. Mata
sipit memanjang gadis itu menyusuri kalimat demi kalimat. Di sampingnya Ita
mengikuti.
***
Jakarta, tahun kelimabelas
Perempuan,
Semoga kau bisa melihat
perubahan yang telah kubuat dalam hidup.
Beberapa cerpen telah
kutulis, sebagian ada yang telah dibukukan. Terima kasih telah menjadi sumber
abadi inspirasiku. Semoga kau tidak keberatan. Selalu kutulis inisial namamu di
setiap tulisan. Dengan cara itu aku berusaha terus bersamamu, menjaga cita-cita.
Juga kesetiaan.
Aku tidak menyalahkan jika
tak ada yang percaya bagaimana aku sebagai lelaki yang memiliki kebutuhan bisa
tetap sendiri dan tidak tergoda macam-macam.
Kesalahan mereka adalah
mengira aku sendiri. Mereka tidak memahami wajahmu yang menyapaku setiap pagi
di komputerku. Mereka tidak melihat fotomu yang terselip di dompetku, meski
lusuh dan berukuran sangat kecil (Maafkan aku mengambilnya tanpa meminta. Tapi
foto itu telah memberiku banyak energi). Mereka juga tidak tahu sosokmu yang
terlukis di dalam hati dan tak pernah pudar, meski belasan tahun berlalu.
Dari jauh kulihat engkau
bahagia dengan kehitupanmu. Itu membuatku senang, meski di satu sisi menorehkan
luka.
Bukankah cinta harus bahagia atas kebahagiaan yang dicintai, dan tidak membiarkan dirusak ego semata?
Perempuanku,
Kau tidak tahu betapa sulitnya untuk tetap dalam ketulusan. Untuk tidak mengirimkan surat-surat ini padamu sampai waktunya tiba. Untuk menyimpan cinta dalam diam. Dan melewati hari dengan hati teriris-iris oleh rindu, cinta, cemburu.
Pernah aku menangis dan ingin menyerah atas cinta yang Dia pilihkan untukku. Tapi perempuanku juga keajaiban yang dikirimkan Tuhan. Untuk anugrah sebesaritu aku hanya perlu bersabar
Bukankah cinta harus bahagia atas kebahagiaan yang dicintai, dan tidak membiarkan dirusak ego semata?
Perempuanku,
Kau tidak tahu betapa sulitnya untuk tetap dalam ketulusan. Untuk tidak mengirimkan surat-surat ini padamu sampai waktunya tiba. Untuk menyimpan cinta dalam diam. Dan melewati hari dengan hati teriris-iris oleh rindu, cinta, cemburu.
Pernah aku menangis dan ingin menyerah atas cinta yang Dia pilihkan untukku. Tapi perempuanku juga keajaiban yang dikirimkan Tuhan. Untuk anugrah sebesaritu aku hanya perlu bersabar
Dee meletakkan surat yang
membuat dadanya sesak. Berfikir, perempuan itu sungguh beruntung karena
mendapatkan cinta begitu besar.
“Bingkisan itu isinya
kira-kira apa ya? Gimana kalau kita buka juga?”
Kalimat sekonyong-konyong Dee membuat mata Andra, Ita, dan Anik melotot. Di dalam kertas coklat itu memang terdapat sebuah bungkusan lain yang terbalut kertas koran.
Kalimat sekonyong-konyong Dee membuat mata Andra, Ita, dan Anik melotot. Di dalam kertas coklat itu memang terdapat sebuah bungkusan lain yang terbalut kertas koran.
“Baca surat aja udah
salah, Dee! Masa kita mau buka bingkisan itu juga.”
“Aku penasaran.”
“Lalu penasaran itu
memberimu hak untuk melanggar privacy orang?”
Dee kena batunya. Andra tersenyum puas. Ita dan Anik kembali asyik membaca surat-surat. Belum ada kemajuan. Mereka tak menemukan nama atau petunjuk lain yang lebih spesifik. Padahal setelah membaca surat-surat itu keinginan keempat gadis itu menjadi lebih besar untuk menyampaikan bingkisan dan surat-surat tersebut kepada yang berhak.
Dee kena batunya. Andra tersenyum puas. Ita dan Anik kembali asyik membaca surat-surat. Belum ada kemajuan. Mereka tak menemukan nama atau petunjuk lain yang lebih spesifik. Padahal setelah membaca surat-surat itu keinginan keempat gadis itu menjadi lebih besar untuk menyampaikan bingkisan dan surat-surat tersebut kepada yang berhak.
Dee memilih sebuah surat,
lalu memutuskan membacanya keras-keras.
“Ini surat terbaru dan
terpanjang…”
Dee mulai membaca dengan
perlahan.
***
Jakarta, tahun kedelapanbelas
Cinta,
Aku harap surat ini sampai
padamu. Sekaligus kukirimkan surat-surat sebelumnya yang tak pernah kukirim.
Hanya dua alasan yang
membuatku mengirimkan surat ini, beserta sebuah bingkisan yang telah kusiapkan
sejak delapan tahun lalu dan selalu kusimpan dengan baik.
Sejak pertama aku
mengenalmu, telah kutekadkan untuk menyerahkan semua ungkapan perasaan dan
bukti kesungguhanku padamu, jika masanya tiba. Jika Allah memberi pertanda dan
membuang satu kemustahilan sehingga aku bisa bersamamu. Kedua, jika aku merasa
waktuku akan tiba tak lama lagi.
Tiga tahun ini kesehatanku
memang kurang baik. Satu-satunya yang kusesali adalah itu membuatku tak bisa
lagi mengejar wajahmu, dan menikmati keindahan dan ketulusan. Hal yang dulu selalu
kulakukan, memandangmu dari jauh. Dari depan rumah di mana daun-daun nusaindah
terserak. Melihatmu berbicara dan tertawa membuatku merasa hidup.
Barangkali memang harus
begini ketentuan Allah. Bahwa selamanya aku hanya bisa memilikimu dalam angan,
harapan, dan impian. Tidak lebih.
Tapi, perempuan,
Tak pernah kusesali
pilihan yang kubuat. Sebab, bisa memiliki harapan untuk bersamamu lebih dari
cukup bagiku. Sebab, seperti yang pernah kukatakan, sebelumnya aku tak pernah
punya cita-cita. Dan perempuanku memberiku cita-cita itu.
Aku mencintaimu. Teramat
sangat, pada batas terdalam cinta yang mungkin dirasakan seseorang. Dan telah
pula kubuktikan semampuku.
Delapanbelas tahun
meneropong kebahagiaanmu. Melihat anak-anakmu tumbuh besar, memberiku rasa
aman. Sebab, kini aku tahu, sekalipun aku tak ada, mereka akan menjadi perisai
dan pelindung yang baik bagimu.
Bingkisan ini harus
kusampaikan kepadamu sebagai bagian dari harapan indah yang kubangun.
entah tangan siapa
yang memulai menyobek bingkisan dengan sampul kertas koran itu. Di dalamnya
tampak sebuah kertas kado dengan bunga-bunga kecil warna pink dan biru.
Semua terpana. Dee
menunggu persetujuan Andra, Ita, dan Anik sebelum menyobek kertas kado dan
terperangah melihat isinya. Di dalamnya terdapat kotak berisi mukena dan sarung
merah jambu berenda, satu Al Quran dan sejumlah uang dalam jumlah yang ganjil.
Juga sebuah cincin bermata satu dalam wadah hati berwarna biru.
Dee merasa matanya berair.
Anik menghapus airmata yang mengalir deras. Sementara, Ita dan Andra tak urung
menitikkan butiran kristal serupa.
Di dekat mereka,
surat-surat berbeda tahun tergeletak berantakan di lantai. Sebagian hurufnya
ada yang pudar dan tak bisa dibaca, sebagian lagi tertimpa airmata baru yang
menetes dari keempat gadis yang meratapi kisah cinta yang lara dari lelaki
tanpa nama untuk perempuan tanpa nama.
Bingkisan ini harus kusampaikan
kepadamu sebagai bagian dari harapan indah yang kubangun. Dulu aku selalu
membayangkan memberikannya langsung kepadamu, sekaligus bersimpuh di lutut dan
mengucapkan kata-kata lamaran yang layak dikenang dalam sisa hidup. Melamarmu
dalam suasana suci, ketika mencintaiku tidak lagi menjadi halangan bagimu.
Delapanbelas tahun
mencintaimu dalam diam. Sebentar lagi mungkin habis waktuku. Tapi tak pernah
kusesali hari ketika aku melihatmu di teras masjid.
Terimakasih Tuhan atas
cinta sekali yang Kau beri.
0 komentar:
Posting Komentar